Tindak Fintech Ilegal, OJK Butuh Regulasi yang Lebih Tinggi

Jakarta, Kominfo - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak main-main dalam melakukan pengawasan terhadap Financial Technology (Fintech). Hal itu sebagai bagian dari upaya untuk merespons banyaknya Fintech 'bodong' alias ilegal.  

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, lembaganya terus mendorong para pelaku bisnis ini untuk mendaftar secara legal.

(Baca Juga : Bapenda Kobar Turunkan Tim Guna Validasi Data PBB-P2)

"Ini semata-mata untuk memudahkan pengawasan. Sekaligus memberikan rasa aman kepada konsumen maupun penyedia jasa (fintech)," ujar Hendrikus ketika memberikan keterangan pers di Gedung Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Jakarta, Jumat (08/03/2018).

Hendrikus memaparkan, untuk fintech peer to peer (P2P) lending-layanan pinjam meminjam secara online- yang terdaftar di OJK, payung hukumnya mengacu pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016. Yakni tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. 

“Jadi tugas kami berdasarkan POJK yang ada adalah untuk mengatur, memberi izin dan mengawasi Fintech P2P Lending yang terdaftar. Sementara untuk fintech ilegal atau yang belum terdaftar di OJK, diperlukan regulasi yang lebih tinggi kedudukannya dari POJK," paparya

Menurut Hendrikus yang dimaksud dengan regulasi yang lebih tinggi dalam kedudukannya adalah peraturan perundang-undangan. Misalnya Undang-undang Perbankan maupun beleid lain yang menggunakan kata 'Barang Siapa'.

“Dengan adanya kata 'Barang Siapa' dalam undang-undang, konsekuensinya akan ada sanksi pidana," tegas dia. 

Sebaliknya, untuk level POJK tidak ada kata-kata itu. Pasalnya, POJK lebih rendah levelnya dan tidak ada sanksi pidana penjara atau pidana denda. "Sanksi maksimalnya hanya pencabutan tanda daftar atau perizinan,” jelas Hendrikus.

Fintech P2P Permudah Akses Pendanaan Pelaku UMKM

Terbitnya POJK yang mengatur Fintech P2P Lending punya alasan tersendiri. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, transaksi online menjadi sebuah keniscayaan. 

Menurut Hendrikus, jika transaksi bisnis dilakukan secara offline maka biayanya sangat mahal. Kalaupun dipaksakan secara offline, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang perekonomian akan susah tercapai. 

"Akan sulit mendanai kegiatan bisnis bagi pelaku UMKM yang ada di luar pulau Jawa," ungkapnya.

Maka dari itu, kehadiran Fintech P2P Lending sangat penting untuk mendorong pertumbuhan sektor UMKM. 

"Itu yang sebenarnya menjadi dorongan mengapa POJK 77 tahun 2016 ini diterbitkan. Sebagai informasi, data Kementerian Koperasi dan UMKM saat ini ada sekitar 60 juta pelaku UMKM,” jelasnnya. 

Dari 60 juta UMKM ini, lanjut Hendrikus, sekitar 95 persen menyerap tenaga kerja di  Indonesia. Namun sayangnya sebagian besar mengalami kesulitan, dalam memperoleh akses pendanaan melalui industri keuangan konvensional seperti perbankan. 

"Pelaku UMKM mengalami kondisi dilematis, salah satunya tidak bisa dilayani perbankan bagi yang tidak memiliki rekening. Maka dari itu kehadiran Fintech P2P Lending amat penting untuk membantu masyarakat atau pelaku UMKM agar dapat dengan mudah meminjam dana. Sekalipun para pelaku UMKM tersebut belum memiliki rekening di Bank," pungkasnya.

(sumber : www.kominfo.go.id)